H. Adian Husaini, M.Si., Ph.D., (Ketua Program Doktor Pendidikan Agama Islam UIKA Bogor) pada peringatan Milad UIKA yang digelar di Masjid Raya Al-Hijri II Kampus UIKA Bogor, Jumat, 09/06/2023.

Pada 23 April 2023, Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, genap berumur 62 tahun. Jadi, 62 tahun lalu, sejumlah tokoh Islam bersepakat mendirikan sebuah Kampus Islam dengan tujuan yang mulia. Tentu, menjadi kewajiban kita untuk melanjutkan cita-cita mulia para pendiri kampus ini.

Dalam situs resminya, UIKA mencantumkan tujuannya sebagai berikut: (1) Menjadi Universitas Islam yang memiliki keunggulan dalam proses pembelajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang berbasis nilai-nilai keislaman dan penerapan teknologi; (2) Menghasilkan insan akademik yang berakhlak mulia, kreatif, inovatif, dan relevan dengan dinamika kebutuhan masyarakat; (3) Menghasilkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang dapat meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat sesuai dengan ajaran Islam, dan; (4) Terjalinnya kerjasama dalam lingkup nasional, regional, dan internasional dalam pelaksanaan program Caturdharma Universitas Perguruan Tinggi. (https://uika-bogor.ac.id/halaman/visi-dan-misi-tujuan).

Selama 62 tahun, UIKA Bogor telah melahirkan ribuan alumni yang telah memberikan kiprah nyata di tengah masyarakat. Tetapi, di tengah hegemoni peradaban materialisme-sekulerisme, UIKA pun mendapat tantangan yang sangat berat untuk mewujudkan tujuannya yang begitu mulia.

Melahirkan insan berakhlak mulia merupakan misi utama kenabian Rasulullah Muhammad saw: “Buitstu li-utammima makaarimal akhlaq.” Juga, sabda beliau: “Akmalul mukminiina ahsanuhum khuluqa.” Begitu kata Rasulullah saw. Bahwa, orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya.

Akhlak adalah kondisi jiwa yang kokoh yang melahirkan perbuatan secara otomatis. Perbaikan akhlak harus dimulai dari pensucian jiwa (tazkiyyatun nafs). Inilah salah satu tugas kenabian, sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Baqarah: 151 dan al-Jumuah: 2. Bahwa, tugas Nabi adalah menyampaikan ayat-ayat Allah, mensucikan jiwa umatnya, dan mengajar al-Kitab dan hikmah.

Jadi, sejalan dengan tugas kenabian, maka sejatinya UIKA telah berada di jalan yang benar. Yaitu, untuk mewujudkan – sesuai dengan tujuan Masyumi – “Terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan ilahi.”

Merenungkan perjalanan 62 tahun UIKA, jangan kita lupakan sejarah berdirinya universitas-universitas Islam di Indonesia. Ini merupakan bagian dari jihad fi-sabilillah dalam bidang keilmuan. Rasulullah saw bersabda: “Jaahidul musyrikiina biamwaalikum wa-anfusikum wa-alsinatikum.” (Berjihadlah melawan orang-orang musyik dengan hartamu, dirimu, dan lidahmu).

Pendirian berbagai universitas Islam di Indonesia tak bisa lepas dari peran besar Mohammad Natsir. Tahun 1937, Pak Natsir menulis makalah berjudul “Sekolah Tinggi Islam” (STI). Natsir memandang perlunya umat Islam memiliki satu universitas secara formal. Ketika itu, telah ada sejumlah universitas, seperti Technishe Hoge School (THS, Sekolah Tinggi Teknik) Bandung, Rechts Hoge School (RHS, Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta, dan Geneeskundige Hoge School(GHS, Sekolah Tinggi Kedokteran) Jakarta. Ketiga universitas itu didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam rangka Politik Etis, yang bertujuan mensekulerkan dan mengkristenkan umat Islam.

Tujuh tahun setelah terbitnya artikel Mohammad Natsir tersebut (tahun 1944), Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) memutuskan untuk mendirikan Perguruan Tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi Islam. Lalu, dibentuk Panitia Perencana STI yang dipimpin Muhammad Hatta dan sekretaris Mohammad Natsir. Dan pada 8 Juli 1945, STI secara resmi didirikan, dengan rektor pertama KH Abdul Kahar Muzakkir. Tahun 1948, secara formal STI berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). (Lihat: buku “Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito”(Jakarta: Kompas, 2014).

Karena itu, kita perlu memahami benar, apa yang diinginkan oleh Mohammad Natsir dan Bung Hatta tentang pendidikan ini. Tujuan pendidikan, menurut Pak Natsir ialah: ”… oleh karena itu maka tujuan pendidikan pun tiada lain adalah pencapaian kualitas ”hamba Allah”. Untuk itu, Tauhid harus menjadi dasar pendidikan Islam dan menjadi ”hamba Allah” adalah cita-cita yang harus dicapai dari sebuah proses pendidikan. (Lihat buku Pak Natsir 80 Tahun, (editor: Endang Saifuddin Anshari dan M. Amien Rais), (Jakarta: Media Da’wah, 1988).

Juga, kata Mohammad Natsir: ”Yang dinamakan didikan, ialah suatu pimpinan jasmani dan ruhani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya.”

Mohammad Natsir pun menyetujui pendapat Dr. G.J. Nieuwenhuis yang menyatakan bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas para gurunya: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan Guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.”

Lalu, apa pemikiran dan harapan Bung Hatta tentang universitas Islam? Dalam buku Biografi Politik Mohammad Hatta (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2018), karya Deliar Noer, disebutkan, bahwa menurut Bung Hatta dalam Sekolah Tinggi Islam (Universitas Islam), agama dan ilmu harus bertemu dalam suasana kerjasama. Karena ulama pun harus banyak mengurusi soal negara, maka ulama perlu mempunyai pengetahuan luas tentang masalah masyarakat dan negara. Ulama seperti inilah yang diharapkan oleh Bung Hatta dapat dihasilkan oleh universitas Islam.

Jadi, tujuan universitas Islam, menurut Mohammad Hatta, adalah: “… untuk membentuk ulama yang berpengetahuan dalam dan berpendirian luas serta mempunyai semangat yang dinamis. Hanya ulama seperti itulah yang bisa menjadi pendidik yang sebenarnya dalam masyarakat.”

Bung Hatta memandang agama sebagai “salah satu tiang dari kebudayaan bangsa” dan “menyempurnakan pendidikan agama … satu soal yang mahapenting untuk memperkukuh kedudukan masyarakat.” (Jld. II, hlm. 13).

Khusus tentang Islam, Bung Hatta berpendapat, bahwa Islam itu laksana “pelita yang sebaik-baiknya untuk menyuluhi jalan rakyat ke dalam persaudaraan dan tolong menolong.” Karena itu, menurut Mohammad Hatta, perlu sekali adanya Sekolah Tinggi Islam.

Jadi, itulah cita-cita dan perjuangan tokoh-tokoh Masyumi yang ketika itu dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikoesoemo, KH Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan sebagainya, yang nantinya dilanjutkan oleh Mohammad Natsir, KH Sholeh Iskandar, dan para tokoh lainnya.

Cita-cita besar mereka adalah membangun peradaban Islam yang agung. Dalam hal inilah, universitas Islam diharapkan memiliki peran yang sangat menentukan. Semoga kita diberikan kekuatan untuk melanjutkan perjuangan mereka. Aamiin.

Oleh : H. Adian Husaini, M.Si., Ph.D. (Disampaikan dalam acara Taushiyah 62 Tahun UIKA Bogor, di Masjid al-Hijri II, 9 Juni 2023).