Islamisasi adalah serangkaian proses dalam memberikan nilai-nilai Islami kepada sesuatu. Dalam konteks pendidikan sebagai ‘proses meneteskan sesuatu ke dalam jiwa manusia’, maka dunia pendidikan harus sangat memperhatikan apakah sesuatu yang akan diteteskan ke dalam jiwa manusia tersebut. Hal ini karena secara umum, ‘sesuatu’ itu tidaklah bebas dari nilai (value-free), akan tetapi sangat terikat dengan nilai (value-laden) yang dianut oleh setiap manusia yang meneteskannya. Sesuatu yang dimaksud tentulah ilmu, dan sains adalah bagian dari makna ilmu, sebagaimana ilmu itu sendiri dimaknai sebagai ‘sampainya makna ke dalam minda, dan sampainya minda kepada makna’.
Dengan tidak menutup mata pada beragam pencapaian teknologi yang berkembang hari ini, pada faktanya peradaban hari ini masih dipenuhi dengan penjajahan, perang berkepanjangan, kerusakan alam, ketimpangan sosial, dan beragam persoalan berat lainnya. Islamisasi menjadi sebuah keniscayaan di masa hari ini ketika Barat mengambil alih kepemimpinan dunia, baik secara narasi sampai kepada kekuatan militer. Islam dengan nilainya yang rahmatan lil ‘alamin, sangat penting untuk ditegakkan agar mengembalikan ilmu pengetahuan (sains) pada fungsinya yang awal. Berikut ini beberapa alasan mengapa Islamisasi menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan hari ini:
1. Realitas dunia hari Ini
Dunia hari ini sangat berkiblat kepada Barat dalam berbagai hal. Beragam pemikiran trans-nasional dari Barat diimpor ke dalam negeri dengan sebagiannya tanpa melalui proses filterisasi dan adaptasi sama sekali. Hal ini menjadikan negeri pengimpor menjadi terkesan sebagai negeri yang latah, tidak merdeka, tidak memiliki narasi, tidak non-blok, dan karenanya tidak memiliki keunikannya. Padahal terjadinya kekacauan (chaos) sangat nyata terlihat hari ini, ketimpangan kekayaan sangat kentara, kerusakan lingkungan semakin masif, senjata pemusnah massal semakin dikembangkan dalam dunia peperangan, skeptisisme semakin dirasakan dimana keraguan dianggap sangat ilmiah, sementara keyakinan semakinan diragukan keilmiahannya. Inilah hakikat ilmu yang menyamar. Kesuksesan manusia bahkan diukur dari semakin besarnya hutang yang dibuatnya.
2. Realitas individu hari ini
Individu atau bisa juga warga negara hari ini terlihat banyak yang tidak lagi mau berpikir mendalam. Kemampuan akalnya yang sebenarnya mampu untuk berpikir seakan mati karena mungkin terpana dengan capaian-capaian Barat, sehingga melahirkan sifat permisif secara tanpa sadar. Kebenaran kemudian mulai beralih dari Kalam Tuhan kepada Kalam Barat. Apa yang datang dari Barat seakan harus dianggap baik dan harus diterima dan segera diimplementasikan. Hal ini menyebabkan lahirnya individu yang tidak terpenuhi keseluruhan kebutuhannya sebagai manusia yang merupakan perpaduan ruh (akal, kalbu, lubb, fuad) dan jasad. Terlihat hari ini banyak orang-orang sukses yang begitu mudah bunuh diri, padahal saat berhasilnya sangat mudah untuk lupa diri. Banyak yang terlihat kaya dan atau sangat menguasai persoalan ekonomi dengan gelar tingginya, tapi semakin tidak meyakini arti kehidupan dan keberkahan harta. Banyak juga yang terlihat senang menghibur manusia padahal dirinya sendiri tidak terhibur, berdakwah tapi dirinya tidak menikmati isi dakwah yang disampaikannya.
3. Problematika paradigma peradaban Barat
Barat sendiri sebenarnya mengalami banyak persoalan di negerinya, terutama dalam bab pengembangan sumber daya manusia. Ada ketidakseimbangan jiwa yang diakui oleh banyak pihak atas tumbuh kembang manusia di Barat. Terlihat maju secara peradaban tapi miskin secara jiwa. Semuanya berawal dari paradigma yang dibangun di Barat terhadap hakikat kehidupan dan konsep manusia. Peradaban Barat sendiri mengambil pemikiran Yunani Kuno aspek epistemologi, falsafah, konsep ilmu, teori keilmuan, dasar-dasar sistem pendidikan, etika dan estetika, seperti apa yang disebut dengan indah, cantik, dan bagus. Dari Roma, Barat mengambil hukum, perundangan, kenegaraan (statecraft), dan sistem pemerintahan. Adapun kepercayaan atau keyakinan diadopsi dari Yahudi dan Kristen, sementara spirit kebangsaan diambil dari Jerman dan Nordik.
4. Struktur keilmuan Barat
Problematika paradigma (worldview) atau pandangan hidup di Barat melahirkan struktur keilmuan yang juga problematik. Struktur keilmuan dibangun dari struktur nilai dan konsep yang ada dalam jiwa manusia di Barat. Memahami struktur keilmuan di Barat akan membuat siapapun paham untuk menjadi pribadi yang kritis konstruktif dalam mensikapi nilai-nilai yang berkembang di Barat, yang melahirkan struktur dualisme, rasionalisme, humanisme, sekularisme, dan traumatik atas tragedi.
5. Perkembangan pemikiran di Barat hari ini
Persoalan paradigma dan struktur keilmuan ini akhirnya melahirkan perkembangan pemikiran yang semakin jauh dari nilai-nilai Berketuhanan Yang Maha Esa bagi negeri seperti Indonesia. Kreatifitas manusia di Barat yang tidak mau ber-Tuhan hanya melahirkan pribadi yang terlihat cerdas intelektual tapi tidak dibangun di atas kecerdasan emosional karena tidak adanya kecerdasan spiritual. Kreatifitas pemikiran tersebut pada akhirnya berkembang menjadi liar sehingga masuk ke dalam dunia politik yang melahirkan keputusan-keputusan strategis yang tidak saja berdampak bagi dunia Barat, tapi pastinya kepada seluruh wilayah di Timur yang bergantung secara politik dan ekonomi kepada Barat. Secara khusus, persoalan pemikiran yang berkembang di Barat bermuara pada lahirnya realitas dualisme, nihilisme, agnostik, dan keyakinan konsep kebenaran menurut masing-masing individu.
6. Pengkajian Islam dengan paradigma Barat
Kalaupun Islam kemudian banyak dikaji di Barat dengan lahirnya pusat-pusat studi Islam, tentu saja harus dipahami sebagai bagian desain politik secara umum di Barat yang memiliki maksud dan tujuan. Meski di satu sisi ada nilai-nilai positif yang dirasakan oleh dunia dengan pengkajian Islam tersebut, tapi sebuah realitas pula bahwa para pengkaji Islam di dunia Barat, sebagiannya bukanlah mereka yang meyakini kebenaran Islam, dan karenanya mereka tidak mau ber-Islam. Mereka hanya mengkaji Islam sebagai satu obyek dari sudut pandang Barat yang bahkan tidak meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diturunkan ke muka bumi ini. Akhirnya agama hanya dipersepsikan sebagai bagian dari kultur/budaya di masyarakat yang dahulu dikembangkan oleh seorang manusia bernama Muhammad yang bahkan memiliki motif ekonomi dan kekuasaan, bukan kenabian. Tidak lebih dan tidak kurang.
Berkembanglah kemudian di Barat, metode Hermeneutika untuk menafsirkan Kitab Suci yang kemudian dipaksakan dalam kurikulum di Indonesia. Islam yang holistik kemudian dipecah menjadi cabang ilmu sosial tanpa nilai, sehingga kalau berbicara antropologi, sosiologi, politik, bahkan pendidikan tidak lagi menetapkan nilai, semua diambangkan. Islamologi kemudian berkembang menjadi studi Islam dilihat dari pandangan orang luar, bukan dari Kitab Sucinya itu sendiri.
7. Produk disiplin sains yang berkembang hari ini
Pemisahan agama dan sains yang dikembangkan di Barat, pada akhirnya melahirkan disiplin sains yang tidak berketuhanan, sains yang tidak Islami, sains yang Barati, sains yang memiliki tujuan berbeda dengan sains yang dikembangkan dalam peradaban Islam. Tujuan pengembangan sains ini pula yang kemudian sangat berkorelasi dengan kelestarian alam semesta 300 tahun terakhir dalam kepemimpinan dunia Barat yang menjadikan alam semesta berada pada ketidakstabilannya dan hal ini belum pernah terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia.
Ditulis oleh: Dr. Wido Supraha, M.Si. (Direktur Institut Adab Insan Mulia | Kepala Pusat Studi Islamisasi Sains Sekolah Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor)
0 Comments